Korea atau sewaktu bersatunya dikenal sebagai
Choson, negeri yang dijuluki Land Of Morning Calm, memiliki
kebudayaan yang tak ternilai harganya. Sebut saja contohnya adalah Kuil
Bulguksa, Observatorium tertua di dunia-Ch’omsongdae, hingga Tugu Ssanggyong.
Itu baru kebudayaan berwujud fisik belum lagi kebudayaan yang bersifat
imaterial atau dengan kata lain kebudayaan ideal. Karena memang kebudayaan
tidak hanya yang kelihatan wujudnya tapi juga, ada yang wujudnya tidak terlihat
secara kasat mata namun sebenarnya ada, inilah yang disebut kebudayaan ideal
atau kebudayaan gagasan.
Kebudayaan
ideal Korea, sebenarnya kebanyakan hanya kebudayaan ideal turunan. Contohnya
adalah ajaran Kong-Hu-Chu yang melekat erat dalam kehidupan sosial dan etos
kerja orang Korea tentu saja bukan kebudayaan ideal asli Korea, karena seperti
yang kita ketahui bersama bahwa Kong-Hu-Cu adalah kebudayaan ideal dari Cina
dengan penggagasnya adalah Konfusius, seorang filsuf Cina. Kemudian, ada
semangat keagamaan yang berasal dari kebudayaan Buddha yang menganjurkan
pengikutnya agar beragama Buddha, inilah yang membuat orang Korea tertarik
beragama
Tapi,
tentu saja ada kebudayaan ideal asli Korea, seperti Hwangdo (Jalan
Ksatria). Hwangdo mengajarkan bahwa orang Korea harus memiliki
integritas dan disiplin yang tinggi. Hwangdo pada dahulu kala
tadinya hanya untuk bangsawan tapi, sekarang semua orang Korea
mengaplikasikannya.
Kebudayaan
Korea berawal dari lahirnya kerajaan pertama Korea, yaitu kerajaan Choson
karena di masa kerajaan ini lahir dongeng yang menceritakan nenek moyang bangsa
Korea. Dongeng ini dikenal dengan nama legenda Tan’gun. Dongeng ini
bercerita bahwa ada seorang dewa langit yang bernama Hwanung yang
turun ke bumi, kemudian dia mengajak anak buahnya untuk ikut turun ke bumi. Di
bumi mereka mendirikan kerajaan di suatu tempat, di mana lagi kalau bukan di
Semenanjung Korea.
Suatu
ketika, ada seekor macan dan beruang menemui Hwanung dengan
tujuan meminta Hwanung agar mengubah diri mereka yang berwujud
binatang menjadi manusia. Hwanung mengabulkan permintaan
mereka, ia memberikan sejumlah rumput dan sejumlah siung bawang putih serta
memerintahkan mereka memakannya dan menghindari matahari selama 100 hari.
Mereka harus melaksanakan perintah tersebut jika mereka ingin menjadi manusia.
Beruang
yang melaksanakan perintah Hwanung dengan sabar akhirnya
menjelma menjadi perempuan dalam waktu kurang dari dua bulan, tetapi macan yang
tidak sabar melaksanakan perintah Hwanung gagal menjelma
menjadi manusia. Karena macan tersebut tidak tahan makan bawang putih dan
rumput terus menerus maka, dia akhirnya keluar dari gua dan memakan daging.
Padahal, jika macan itu bersabar seminggu lagi saja, menurut Hwanung macan
itu menjadi laki-laki dan tentu saja berpasangan dengan beruang yang menjadi
perempuan tersebut.
Hwanung merasa
empati dengan beruang yang menjelma menjadi perempuan tersebut karena ia tidak
memiliki pasangan hidup sehingga akhirnya Hwanung menikahinya.
Kemudian, mereka memiliki putra yang diberi nama Tan’gun yang
selanjutnya menjadi nenek moyang bangsa Korea. Sekitar tahun 2300 Sebelum
Masehi, Tan’gun menyatukan suku Tungusic dan kemudian mendirikan kerajaan yang
dikenal dengan kerajaan Choson kuno dengan ibukota Asadah (Pyongyang sekarang).
Meskipun
legenda Tan’gun hanya sebuah mitos yang kurang didukung fakta-fakta sejarah,
namun legenda tersebut merefleksikan idealisme Korea serta memberikan kebanggan
bangsa Korea sebagai bangsa yang memiliki sejarah dan kebudayaan tertua. Oleh
karena itu, bangsa Korea tetap melestarikan legenda tersebut dan menjadi sumber
kebangkitan spiritual bagi bangsa Korea saat menghadapi krisis rasial dan
nasionalisme.
Berlanjut
ke masa tiga kerajaan, yaitu Koguryo, Paekche dan Silla. Di masa ini nampaknya
hanya sistem tulisan iduyang terkenal dan mempengaruhi kebudayaan
Korea sekarang khususnya di Korea Selatan karena memang idu masih
dipelajari orang Korea Selatan sekarang. Idu pada masa itu
dikembangkan untuk menerjemahkan kata-kata dalam bahasa Korea ke bentuk
tullisan Cina, karena pada masa ini seorang cendekiawan bernama Sol Ch’ong dari
kerajaan Silla mensistemasisasi dan mengolah sistem ini.
Kemudian,
saat tiga kerajaan ini ingin menguasai Korea atas nama satu kerajaan atau
bahasa halusnya adalah penyatuan Korea. Mulailah, adanya budaya perang atau
permusuhan satu sama lain (sentimen kerajaan).
Akhirnya,
ketiga kerajaan itu dapat disatukan dibawah bendera kerajaan Silla dan ketiga
kerajaan itu memadukan, kebudayaannya, maka terciptalah Kuil Bulguksa yang
dibuat penganut Buddha dari Silla, ajaran Kong-Hu-Cu yang dijadikan sistem
sosial dasar masyarakat, padahal tadinya ajaran Kong-Hu-Cu, hanya berkembang di
Paekche, dan pembuatan observatorium bintang-Ch’omsongdae, hingga Tugu
Ssanggyong yang dimulai pada masa kerajaan Koguryo.
Maju
ke abad pertengahan tepatnya abad ke-16, di Korea terdapat seorang
laksamana perang bernama, Laksamana Yi Sun-Sin beliaulah yang membuat kapal
anti peluru pertama kali di dunia yang diberi nama “kapal kura-kura”, untuk
menangkal invasi Jepang.
Saat
Jepang menginvasi Korea tentu saja ada kebudayaan Jepang, yang berasimilasi
dengan kebudayaan Korea, ini terlihat dari pakaian tradisional Korea yang
bernama Hanbok, yang merupakan perpaduan kimono ala Jepang dan baju
katun Korea. Kemudian, saat orang Eropa, ikut datang ke Korea mereka membawa
agama Kristen ke Korea serta etos kerja keras ala Eropa dan individualisme plus
liberalisme dan imperalisme Eropa.
Ketika
Perang Dunia berakhir, Korea mengalami vacum of power, seperti
Indonesia, tapi, akhirnya oleh PBB, Amerika Serikat dan Uni Sovyet, Korea
dibagi dua tepat di garis 38 derajat, menjadi Korea Selatan dan Korea Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar