Senin, 14 November 2011

Budaya Organisasi


Budaya organisasi adalah budaya yang lebih luas memberikan pengaruh kuat pada struktur dan fungsi organisasi. Para peneliti organisasi sudah lama melihat setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda satu dengan lainnya meskipun mereka menjalankan fungsi yang sama.
Satu organisasi dibandingkan organisasi lainnya bisa saja lebih otoritarian atau demokratis; sangat terikat peraturan atau informal; inovatif atau menolak perubahan; bisa menerima keragaman atau anti-keragaman; atau bisa membawa atmosfer yang bersahabat atau tidak bersahabat.
Sebagai contoh perusahaan Amerika tahun 1920-an menerapkan kebijakan “welfare capitalism” untuk mendorong karyawan melekatkan diri pada perusahaan dan mencegah pembentukan serikat buruh. Perusahaan menyediakan tunjangan keamanan, kesehatan, piknik, kegiatan olahraga, mekanisme bagaimana menyampaikan keluhan, serikat pekerja yang didukung perusahaan.
Budaya perusahaan Jepang jauh berbeda. Perusahaan Jepang berusaha mempertahankan nilai paternalistik, lingkungan yang kekeluargaan, yang kemudian membuat karyawan sangat setia dan berdedikasi pada perusahaan.
Amitai Etzioni melihat budaya organisasi dari teknik kontrol. Beberapa organisasi, seperti penjara dan rumah sakit jiwa misalnya, menggunakan sanksi fisik atau pemaksaan untuk mengontrol anggotanya. Sebagian organisasi lainnya, misalnya organisasi bisnis, menggunakan material atau asas manfaat sebagai insentif untuk membujuk atau mendorong anggotanya berperilaku sesuai keinginan organisasi itu. Organisasi lainnya, seperti gereja atau partai politik, menggunakan kontrol normatif atau berdasarkan norma-norma, seperti idealisme tinggi.
Organisasi yang menggunakan strategi kontrol normatif atau berdasarkan norma-norma mendapatkan komitmen anggotanya lebih besar dibandingkan organisasi yang menggunakan metoda utilitarian dan organisasi dengan strategi pemaksaan paling kecil komitmen anggotanya. William Ouchi belajar dari pengalaman Jepang menyimpulkan lebih murah mengontrol orang melalui pergaulan dan norma-norma daripada insentif materi atau peraturan ketat birokratis.
Tetapi budaya bisa diinterpretasikan berbeda-beda. Joanne Martin menjelaskan tiga pendekatan dalam mempelajari budaya organisasi yaitu: integrasi (integration), perbedaan (differentiation), dan fragmentasi (fragmentation). Berdasarkan pendekatan atau perspektif integrasi anggota organisasi tahu persis prinsip dasar yang menjadi budaya organisasi sehingga mereka tahu bagaimana harus berperilaku. Jika saya rajin atau berprestasi maka gaji saya akan naik atau mendapat bonus.
Pendekatan perbedaan mengakui ada perbedaan interpretasi budaya organisasi atau bahkan variasi budaya di dalam organisasi yang mencerminkan kelompok interes berbeda. Satu departemen bisa berselisih dengan departemen lainnya. Atasan bisa saja memiliki pemahaman berbeda pendapat dengan bawahan mengenai sikap tidak berat sebelah (fairness) dan tanggung jawab.
Perspektif perbedaan melihat tidak ada konsensus di tingkat organisasi, yang ada hanya konsensus di tingkat subkultur dan pandangan ini cenderung menekankan bagaimana kelompok bawahan melihat organisasi untuk membedakan dengan pandangan integrasi. Perspektif ini sering digunakan untuk meneliti konflik dan keengganan yang tidak muncul dalam retorika manajemen atau penelitian organisasi yang menekankan kerja tim, harmoni, dan kerja sama.
Kultur organisasi bisa terdiri dari sub-kultur. Kultur di bagian keuangan berbeda dengan kultur di bagian penjualan, misalnya. Bagian keuangan biasa bekerja dari pukul 09.00 sampai 17.00 sore dan akan sangat jarang sekali keluar kantor. Bagian penjualan akan lebih banyak ke luar kantor dan waktu kerjanya tidak harus 9 s/d 5. Kunda mendeskripsikan tipikal suasana kerja di perusahaan teknologi tinggi. Ia menyebutnya “typical Tech
Hampir semua karyawannya berkulit putih dan laki-laki kecuali sekretaris. Kebanyakan karyawan menganggap status sosialnya tinggi. Hampir semua memiliki gelar insinyur elektronik dan ilmu komputer. Gajinya di atas rata-rata meskipun ada perbedaan besar satu dengan lainnya.
Pakaian kerja tidak formal. Misalnya karyawan Microsoft tidak mengenakan dasi. Kadang di musim panas, mereka masuk kantor mengenakan celana pendek. Sulit membedakan yang mana atasan dan yang mana bawahan.
Terkesan mereka adalah pekerja keras, menikmati kerja, bahkan bisa dibilang kecanduan kerja. Mereka menilai pekerjaan mereka sebagai “state of the art” berkualitas, penuh inovatis, dan membawa keuntungan. Karakter mereka adalah kombinasi upaya keras dan suasana informal; kebebasan dan disiplin; kerja dan bermain.
Setelah menikmati kopi pagi di kafetaria, mereka masuk ke dalam ruang kerja yang dibatasi empat dinding (cubicle) dengan perlengkapan kerja seperangkat komputer, printer.
Sepertinya mereka datang dan pergi sesukanya. Kebanyakan bekerja sampai malam hari. Ada perusahaan yang menyediakan tempat tinggal tidak jauh dari kantor. Sebagian dari mereka bekerja di dalam pikirannya dan beberapa bahkan memimpikan pekerjaan yang belum selesai. Itulah suasana kerja di Lyndsville.
Kunda mencoba menyusun uraian deskripsi mengenai budaya perusahaan berteknologi seputar tiga gagasan utama yaitu ideologi, ritual penyajian yang membahas ideologi, dan diri sendiri versus organisasi. Selain menjelaskan budaya keteknikan, Kunda juga menjelaskan proses merekayasa budaya di perusahaan.
Ia memberikan uraian rinci bagaimana citra perusahaan diproduksi dan dibuat bagi karyawannya. Menjalankan budaya perusahaan akan membantu budaya menjadi bermakna. Budaya perusahaan menjadi ideologi kerja karyawan. Pengalaman bermakna itu akan membuat karyawan memaknai dirinya dan rekan sekerjanya. Karyawan akan mengidentifikasi diri dengan perusahaan.

(Disarikan dari buku “Social Theory at Work,” karya Marek Korczynki, Randy Hudson, Paul Edwards, Bab 4 dan “The Sociology of Organizations: Classic, Contemporary and Critical Reading,” karya Michael J Handel, Bab X)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar