Budaya
organisasi adalah budaya yang lebih luas memberikan pengaruh kuat
pada struktur dan fungsi organisasi. Para peneliti organisasi
sudah lama melihat setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda satu dengan
lainnya meskipun mereka menjalankan fungsi yang sama.
Satu organisasi dibandingkan organisasi lainnya bisa saja lebih otoritarian
atau demokratis; sangat terikat peraturan atau informal; inovatif atau menolak
perubahan; bisa menerima keragaman atau anti-keragaman; atau bisa membawa
atmosfer yang bersahabat atau tidak bersahabat.
Sebagai contoh perusahaan Amerika tahun 1920-an
menerapkan kebijakan “welfare capitalism” untuk mendorong karyawan melekatkan
diri pada perusahaan dan mencegah pembentukan serikat buruh. Perusahaan
menyediakan tunjangan keamanan, kesehatan, piknik, kegiatan olahraga, mekanisme
bagaimana menyampaikan keluhan, serikat pekerja yang didukung perusahaan.
Budaya perusahaan Jepang jauh berbeda. Perusahaan Jepang
berusaha mempertahankan nilai paternalistik, lingkungan yang kekeluargaan, yang
kemudian membuat karyawan sangat setia dan berdedikasi pada perusahaan.
Amitai Etzioni melihat budaya organisasi dari teknik
kontrol. Beberapa organisasi, seperti penjara dan rumah sakit jiwa misalnya,
menggunakan sanksi fisik atau pemaksaan untuk mengontrol anggotanya. Sebagian
organisasi lainnya, misalnya organisasi bisnis, menggunakan material atau asas
manfaat sebagai insentif untuk membujuk atau mendorong anggotanya berperilaku
sesuai keinginan organisasi itu. Organisasi lainnya, seperti gereja atau partai
politik, menggunakan kontrol normatif atau berdasarkan norma-norma, seperti
idealisme tinggi.
Organisasi yang
menggunakan strategi kontrol normatif atau berdasarkan norma-norma mendapatkan
komitmen anggotanya lebih besar dibandingkan organisasi yang menggunakan metoda
utilitarian dan organisasi dengan strategi pemaksaan paling kecil komitmen
anggotanya. William Ouchi belajar dari pengalaman Jepang
menyimpulkan lebih murah mengontrol orang melalui pergaulan dan norma-norma
daripada insentif materi atau peraturan ketat birokratis.
Tetapi budaya
bisa diinterpretasikan berbeda-beda. Joanne Martin menjelaskan tiga pendekatan
dalam mempelajari budaya organisasi yaitu: integrasi (integration),
perbedaan (differentiation), dan fragmentasi (fragmentation).
Berdasarkan pendekatan atau perspektif integrasi anggota organisasi tahu persis
prinsip dasar yang menjadi budaya organisasi sehingga mereka tahu bagaimana
harus berperilaku. Jika saya rajin atau berprestasi maka gaji saya akan naik
atau mendapat bonus.
Pendekatan
perbedaan mengakui ada perbedaan interpretasi budaya organisasi atau bahkan
variasi budaya di dalam organisasi yang mencerminkan kelompok interes berbeda.
Satu departemen bisa berselisih dengan departemen lainnya. Atasan bisa saja
memiliki pemahaman berbeda pendapat dengan bawahan mengenai sikap tidak berat
sebelah (fairness) dan tanggung jawab.
Perspektif perbedaan melihat tidak ada konsensus di
tingkat organisasi, yang ada hanya konsensus di tingkat subkultur dan pandangan
ini cenderung menekankan bagaimana kelompok bawahan melihat organisasi untuk
membedakan dengan pandangan integrasi. Perspektif ini sering digunakan untuk
meneliti konflik dan keengganan yang tidak muncul dalam retorika manajemen atau
penelitian organisasi yang menekankan kerja tim, harmoni, dan kerja sama.
Kultur organisasi bisa terdiri dari sub-kultur. Kultur di
bagian keuangan berbeda dengan kultur di bagian penjualan, misalnya. Bagian
keuangan biasa bekerja dari pukul 09.00 sampai 17.00 sore dan akan sangat
jarang sekali keluar kantor. Bagian penjualan akan lebih banyak ke luar kantor
dan waktu kerjanya tidak harus 9 s/d 5. Kunda mendeskripsikan tipikal
suasana kerja di perusahaan teknologi tinggi. Ia menyebutnya “typical Tech”
Hampir semua
karyawannya berkulit putih dan laki-laki kecuali sekretaris. Kebanyakan
karyawan menganggap status sosialnya tinggi. Hampir semua memiliki gelar
insinyur elektronik dan ilmu komputer. Gajinya di atas rata-rata meskipun ada
perbedaan besar satu dengan lainnya.
Pakaian kerja tidak formal.
Misalnya karyawan Microsoft tidak mengenakan dasi. Kadang di musim panas,
mereka masuk kantor mengenakan celana pendek. Sulit membedakan yang mana atasan
dan yang mana bawahan.
Terkesan mereka adalah pekerja keras, menikmati kerja,
bahkan bisa dibilang kecanduan kerja. Mereka menilai pekerjaan mereka sebagai
“state of the art” berkualitas, penuh inovatis, dan membawa keuntungan.
Karakter mereka adalah kombinasi upaya keras dan suasana informal; kebebasan
dan disiplin; kerja dan bermain.
Setelah menikmati kopi pagi di kafetaria, mereka masuk ke
dalam ruang kerja yang dibatasi empat dinding (cubicle) dengan perlengkapan
kerja seperangkat komputer, printer.
Sepertinya mereka datang dan pergi sesukanya. Kebanyakan
bekerja sampai malam hari. Ada perusahaan yang menyediakan tempat tinggal tidak
jauh dari kantor. Sebagian dari mereka bekerja di dalam pikirannya dan beberapa
bahkan memimpikan pekerjaan yang belum selesai. Itulah suasana kerja di
Lyndsville.
Kunda mencoba
menyusun uraian deskripsi mengenai budaya perusahaan berteknologi seputar tiga
gagasan utama yaitu ideologi, ritual penyajian yang membahas ideologi, dan diri
sendiri versus organisasi. Selain menjelaskan budaya keteknikan, Kunda juga
menjelaskan proses merekayasa budaya di perusahaan.
Ia memberikan
uraian rinci bagaimana citra perusahaan diproduksi dan dibuat bagi karyawannya.
Menjalankan budaya perusahaan akan membantu budaya menjadi bermakna. Budaya
perusahaan menjadi ideologi kerja karyawan. Pengalaman bermakna itu akan
membuat karyawan memaknai dirinya dan rekan sekerjanya. Karyawan akan
mengidentifikasi diri dengan perusahaan.
(Disarikan dari buku “Social Theory at
Work,” karya Marek Korczynki, Randy Hudson, Paul Edwards, Bab 4 dan “The
Sociology of Organizations: Classic, Contemporary and Critical Reading,” karya
Michael J Handel, Bab X)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar